Menurutnya yang menjadi permasalahan saat ini adalah perbandingan antara masyarakat kaya dan miskin. Hal itu yang mesti dikurangi jaraknya agar tidak terlalu besar.
“Makanya mereka harus dihimpun dalam bentuk kelompok-kelompok di daerah. Jadi mereka betul-betul memilih pasar yang harganya kompetitif. Tidak semata-mata pada pembelian lokalnya saja. Jadi petani bisa mengakses langsung pasar tersebut secara langsung dalam bentuk kelompok-kelompok,” terangnya.
Pria kelahiran Wajo ini menjelaskan, awalnya petani bisa melakukan dalam bentuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terlebih dahulu. Kemudian berkembang menjadi eksportir.
“Jadi kasarnya ini kita kasih hilang mafianya. Atau pengumpul yang kadang-kadang justru lebih banyak untungnya dari pada petaninya,” sebut dia.
Jika petani sejahtera, maka otomatis perluasan jumlah lahan dan peningkatan jumlah produksi itu pasti akan meningkat. Karena pasti masyarakat sekitar juga akan melihat potensi itu. Sehingga mereka membuka peluang untuk menjadi petani di wilayah itu.
“Sehingga lahan mereka yang tadinya menjadi plasma ini akan bisa menjadi inti dalam satu kelompok. Saya melihat itu sebuah langkah positif untuk mengembangkan pengusaha di daerah khususnya pengusaha maupun petani kopi dan sawit,” jelasnya. (sae/yuk)