English English Indonesian Indonesian
oleh

Bacarita Identitas Ketimuran Era Digital

OLEH: M. Nawir: Freelancer, Ketua Bidang Seni Budaya IKA Unhas

Tulisan ini merupakan narasi lisan yang dibahas dalam workshop Bacarita: Identity and Belonging (Rumata Arspace, 30 Juni 2022). Penulis mewacanakan persoalan identitas, entitas ketimuran, dan aktualitasnya di era digital.

Berwacana dalam pergaulan orang muda dipahami dalam pengertian “unjuk-gagasan”, “ngomong doang”, “cerita melulu”, “kultum” alias kuliah tujuh menit. Tidak salah juga karena berwacana merupakan kemampuan bertutur. Hermeneutika mendefinisikan wacana lisan merupakan tulisan yang diucapkan sebagaimana wacana tulisan adalah ucapan yang dibakukan. Cerita lisan maupun tulisan terikat konteks, situasi dan ruang tertentu yang merepresentasi entitas aktual. Semisal kita memahami ungkapan mallempa orowane, majjujung makkunreie. Teks ini melekat pada sistem pewarisan, dua bagian laki-laki dan satu perempuan. Kita dapat memaknai teks ini dari konsepsi kesetaraan gender. Memikul dan menjunjung adalah peran-peran yang dapat dipertukarkan. Dalam keseharian berlaku dalil kepantasan, menjadi tidak lazim mengharuskan perempuan memikul, laki-laki menjunjung.

Dalam tradisi lisan kita mengenal mitos tentang hutan larangan (Kajang) atau hutan keramat (Cerekang), atau pun ritual menjaga mata air di kawasan Karst Geopark Maros-Pangkep. Mitos mereka berisi pesan leluhur yang diceritakan antargenerasi. Bahwa mematuhi larangan merupakan wujud kesetiaan kepada ajaran Sang Pemberi Kehidupan. Dari perspektif ekologi budaya, kita dapat mewacanakannya sebagai politik konservasi dan mitigasi, yaitu kewajiban (bukan hak) bagi siapapun nntuk melindungi dan melestarikan sumber daya agraria.

Pada masa kini, kita menjumpai cerita populer dalam bentuk lagu Pacarita Anci Laricci maupun obrolan Pacarita di radio Gamasi FM; di televisi, warkop maupun panggung rakyat seperti pada aksi stand up comed, konten maupun gaya tutur komikanya itu berakar budaya pada tradisi lisan Pacarita/Paccurita (Bugis-Makassar), Topongei (Kaili), Panglago (Manado), Mop (Papua, Ambon). Selain penegasan identitas, lelucon, nasihat, fungsi wacana dalam tradisi lisan itu adalah kritik sosial. Jejak rekam mereka dengan mudah diakses melalui kanal youtube.

Kekuatan tradisi bertutur sebagai genre cerita rakyat populer sangat bertumpu pada penuturnya. Passinriliq, penutur cerita sinriliq di Makassar nyaris tidak lagi populer, bahkan putus generasi penerusnya setelah kepergian Sirajuddin Bantang dan Syarifuddin Dg. Tutu. Banyak orang meneliti tradisi sinriliq, tetapi sedikit sekali orang yang mewarisi tradisi ini. Pacarita atau Pacurita, relatif bertahan karena tidak bergantung pada media dan peralatan.

Bacarita merupakan bentuk cerita lisan. Aksentuasi ba-carita, mengadaptasi aksen “orang barat” ber-cerita. Bacarita atau bercerita merupakan kemampuan literasi yang mengaktualkan sekaligus merepresentasi identitas budaya suku bangsa. Bercerita sebagaimana asal katanya sepadan dengan arti tuturan, karangan, lakon, dongeng, hingga bualan tentang peristiwa, perbuatan, atau pun penderitaan orang secara faktual maupun rekaan.

Istilah bacarita digunakan pada berbagai konteks penamaan seperti pada program Guru Bacarita Narasi Perdamaian, website Bacarita Law Journal (Ambon); café, toko dan media online bacarita.id (Manado); buku Kitorang Bacarita, RM Raja Tuna Bacarita (Papua), dan kanal youtube #bacarita; organisasi Komunitas Bacarita NTT (Kupang); outlet Manis T-Shirt-Bacarita, Warkop Pacarita & Pujasera New Bacarita (Makassar).

Masyarakat Bugis-Makasar adalah orang-orang yang melek huruf sejak abad 14, yaitu dapat membaca teks beraksara Lontaraq (Pelras, 1996). Kemampuan literasi ini terkikis oleh modernisasi pendidikan. Menjadikan aksara latin bahasa Indonesia dan Inggris sebagai alat ukurdari kemampuan baca-tulis berimplikasi pada “buta huruf” bagi masyarakat yang memiliki aksara lokal. Apatah lagi suku-suku bangsa di wilayah timur, sebagian besar tidak memiliki aksara atau setidaknya belum membakukan (kanosisasi) tradisi lisannya.

Beridentitas dapat berarti proses menjadi dengan cara menegaskan jati diri sebagai makhluk yang berbudaya melalui kegiatan berwacana atau bercerita. Proses peneguhan jati diri seseorang dapat dianalogikan dengan proses pembentukan identitas kebangsaan, yakni hasil persilangan kebudayaan dunia. Sebagai ilustrasi, siapa sesungguhnya orang Makassar itu? Bila kita mengatakan orang Makassar adalah suku di pulau Sulawesi yang berbahasa Makassar dan beragama Islam, maka sebenarnya kita mengakui bahwa identitas orang Makassar itu merupakan bentukan dari berbagai ras dan budaya bangsa dunia seperti Melayu, India, Persia, China, dan Eropa. Persilangan atau pun budaya kosmopolitan masih berlangsung hingga kini.

Bagaimana bila kita menjawab bahwa orang Makassar saat ini identik dengan ujaran yang keras/kasar, suka buang sampah sembarangan, gemar tawuran, dan intoleran? Karena berdasarkan rilis media disebut kota Makassar termasuk dalam 10 kota yang intoleran, lebih dari 34 kasus tawuran selama tahun 2021, dan rata-rata warganya memproduksi 1.000 ton sampah perhari. Dari kenyataan ini, kita menyadari ada prinsip berbudaya yang tidak lagi kita tegakkan.

Istilah budaya Timur (Eastern) berlawan dengan budaya Barat (Western). Budaya Timur nusantara lebih reflektif-introspektif dengan mengarahkan kesadaran pada jati diri (personality), sehingga orang timur lebih mengutamakan perbuatan daripada teori (Latief, 2018); budaya Barat dipandang lebih objektif, rasional-instrumental dengan kecenderungan mengarahkan kesadaran pada dunia di luar dirinya (the others).

Secara geopolitik bangsa Timur, khususnya di Asia Tenggara digolongkan ke dalam negara dunia ketiga dan berkembang. Ironisnya, cara pandang Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur berkonotasi mirip dengan stigma bangsa Barat terhadap bangsa Timur yang tertinggal dan rawan konflik. Hal ini berimplikasi pada pendekatan pembangunan Indonesia Bagian Timuryang berpola Barat.

Identitas budaya timur yang kini mengalami krisis antara lain: pengetahuan tektonika, dan budaya pangan. Pengetahuan tektonika adalah seni merancang bangun bahan-bahan material alam menjadi karya arsitektur. Orang timur membangun pemukiman di atas struktur geologi yang rentan dari genangan air dan getaran kerak bumi (tektonik). Desain konstruksi rumah panggung orang Sulawesi dan rumah bawah orang Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua merupakan hasil korespondesi pengetahuan budaya (antropologi), sejarah dan warisan budaya (arkeologi), seni (ornamen), serta arsitektur (tektonika). Seni rancang bangun ini mencakup pengetahuan tentang penentuan waktu dan tempat, pemlihan jenis material, ornamen, teknik sambungan, dan pembagian ruang yang adaptif terhadap pergerakan alam/tanah hingga ritus keselamatan.

Suatu pengalaman aktual tentang budaya pangan. Sebelum proyek transmigrasi, orang Maluku menjadikan sagu sebagai bahan makanan pokok. Sekira tahun 90-an, orang Maluku mulai mengenal padi dan mengonsumsi beras (nasi). Sayangnya, banyak anak-anak kepulauan sarapan pagi nasi kuning, tetapi tidak pernah mengalami kehidupan bertani. Pengetahuan bertani sawah dan padi diperoleh dari buku, sekolah, juga internet. Sebaliknya para transmigran dahulu merintis pembukaan lahan sawah untuk melestarikan identitas budaya pangan, makan nasi.

Selain rempah, kita memiliki bahan baku minyak goreng yang melimpah. Pengetahuan budi daya dan produksi minyak kelapa masih mengakar tetapi tidak bertransmisi kepada generasi masa kini. Ketika produksi minyak sawit bermasalah, kita mengalami kelangkaan minyak goreng. Kapasitas teknologi tidak cukup untuk menjadikan kita sebagai produsen minyak goreng di kawasan timur. Pada akhirnya, kita bergantung pada pengusaha produsen minyak sawit.

Jelas bahwa pluralitas orang tengah-timur Indonesia, konteks keanekaragaman hayati, dan kekayaan intelektualnya merupakan realitas kebudayaan yang tidak akan habis untuk diceritakan. Peran artivis (art-activim) merefleksikan kecakapan individual (jati diri) berdasarkan pengalaman sehari-hari dengan cara menjadikan seni sebagai medium artikulasi pengetahuan, bukan sebaliknya mendikotomi pengetahuan dengan seni. Bukan saja mengartikulasikan ide kreatif, tetapi juga menumbuhkan solidaritas untuk merawat kerukunan sosial. (*)

News Feed