Karena itu buku ini perlu dibaca secara hati-hati dan kritis, apalagi memang isinya hanya bersifat deksriptif. Kita berterima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada Pak Adi (sapaan akrab DR. Mardi Adi Armin) atas jasanya menerbitkan buku yang sangat berharga ini sehingga kita bisa menikmatinya dalam versi Indonesia, karena bahasa Prancis yang terdapat dalam buku asli sudah tergolong tua dan kuno, sehingga orang Prancis pun mungkin sulit memahaminya.
Membaca buku ini, seperti kita diajak bertamasya ke masa silam, hampir 400 tahun silam, bagaimana kehidupan kerajaan Makassar, mulai kehidupan sosio-kultural, dari tata pemerintahannya, etika perang, kepercayaan, relasi perempuan dan laki-laki, pencaharian, sampai ke bermacam satwa dan tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya. Ada beberapa yang sempat mempertanyakan kenapa Gevaise menggunakan kata Kerajaan Makassar, padahal dalam sejarah yang dikenal adalah kerajaan Gowa atau kerajaan Tallo sebagai representasi kerajaan Makassar. Setelah saya membaca dengan seksama terjemahan sejarah Makassar ini ternyata yang dimaksudkan dengan kerajaan Makassar adalah kerajaan Gowa-Tallo bersama kerajaan-kerajaan taklukkannya seperti Galesong, Banttajm (bantaeng), Toraja dan sebagainya.
Dalam tulisan ini saya ingin membahas secara sepintas tentang gambaran wanita-wanita Makassar seperti yang digambarkan oleh Gervaise. Menurutnya, wanita sejak kecil dipisahkan dengan saudara laki-lakinya. Perempuan diasuh oleh ibunya, diajarkan tentang tatakrama, adat istiadat, budaya, dan beberapa ketrampilan, dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Sebaliknya laki-laki, setelah berusia 6 tahun ke atas maka pengasuhannya diserahkan kepada Agguys (mungkin yang dimaksudkan adalah anrong guru) yang bertugas mendidik anak-anak itu, mulai cara mengaji, tata cara beribadah, berakhlak, dan berbagai pengetahuan agama lainnya, juga diajari cara membaca huruf dan cara menuliskannya yang menurut Gervaise mirif huruf Arab, mungkin yang dimaksudkan adalah huruf Arab Serang.
