Bung Karno, presiden pertama Indonesia, pada zamannya, menggebrak dunia dengan mewakili bangsa-bangsa yang tertindas. Posisi politik Indonesia sebagai negara non-blok dan bebas-aktif, di atas posisi itulah Bung Karno berbicara kepada dunia. Gelegar dan gema suara Bung Karno didukung oleh penguasaannya berbahasa asing dan juga beliau adalah orator ulung yang memesona pendengar pidatonya.
Bung Karno mengumpulkan bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk ber-Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18 April 1955. Konferensi itu bukan gertakan semata terhadap ketidakadilan yang diciptakan oleh bangsa-bangsa maju (pada zaman itu, adalah bangsa-bangsa Barat). Pada tahun 1962 Bung Karno mengumpulkan lagi bangsa-bangsa dan negara-negara berkembang (baru merdeka) di Jakarta dalam pesta olah raga dunia, GANEFO (Games of the New Emerging Forces). Tandingan kepada Olimpiade. Dan, melalui surat Menteri Luar Negeri Subandrio, Indonesia keluar dari PBB sejak tanggal 1 Januari 1965, melalui surat pada 6 Januari 1965.
Dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, Bung Karno membawa Indonesia ke mata dunia sebagai bangsa berharga diri dan pelopor bangsa-bangsa berkembang di depan keangkuhan bangsa-bangsa maju.
Pidato Bung Karno pada HUT kemerdekaan ke 19 berjudul Tahun Vivere Pericoloso”, yang berarti “hidup penuh bahaya” atau “hidup menyerempet bahaya”, menegaskan bahwa presiden pertama kita itu adalah pemimpin pemberani. Pemberani di hadapan ancaman dan bahaya dunia.
Pemimpin pemberani kita temukan lagi pada Pak JK (Jusuf Kalla), dua kali menjabat sebagai wakil presiden pada dua periode yang berbeda. Pak JK mengambil langkah berani di tengah konflik Ambon dan Poso yang terjadi pada akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21.