Meskipun bukan kata baru, belakangan ini kata grooming makin sering terdengar. Ketika di-google-translate-kan, terjemahannya adalah perawatan diri. Kata grooming juga digunakan untuk kegiatan perawatan hewan peliharaan agar hewan tersebut nampak bersih dan terawat. Tapi, grooming juga dapat berarti sesuatu yang negatif, yakni berupa modus pelecehan yang biasanya terjadi pada anak.
Grooming proses untuk mempersiapkan seorang anak/remaja untuk melakukan aktivitas seksual di kemudian hari yang mengarah pada perilaku predator. Dengan demikian, grooming merupakan perilaku seseorang yang berproses untuk mencapai target yang diinginkan. Ini dimulai dengan menjalin komunikasi, pertemanan, atau menjalin hubungan emosional lainnya dengan anak/remaja. Ini merupakan tahap dimana mereka dalam proses “dipersiapkan” (groomed) sebelum target yang sesungguhnya tercapai, yakni pelecehan seksual.
Dalam proses persiapan, pelaku grooming atau disebut groomer menunjukkan perilaku-perilaku yang dianggap normal terhadap orang yang “dipersiapkan”, misalnya dengan memberi perhatian khusus, sehingga ia merasa diistimewakan, menyayangi, melindungi, dll., sehingga orang yang ditargetkan merasa bahwa mereka berada dalam hubungan yang “normal dan aman”. Yang bersangkutan tidak menyadari bahwa inilah awal dari hubungan yang membahayakan. Biasanya ini diikuti dengan kontak fisik secara seksual melalui sentuhan.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mendeteksi kapan seseorang telah berada dalam tahap “dipersiapkan” (groomed)? Ini juga tidak mudah karena tidak ada pilahan yang tegas (blurred) antara orang yang telah “dipersiapkan” dan yang tidak hingga pelecehan seksual itu terjadi karena pelecehan itu sendiri terkadang nampak seperti perilaku yang “normal” karena kita cenderung “menormalkan” perilaku yang tidak normal menjadi perilaku yang “normal”. Ini karena mereka “dilatih, dipersiapkan, dan/atau dikondisikan” untuk melihat suatu perilaku yang tidak normal menjadi “normal”.
