Tapi grooming tidak hanya terjadi di dunia nyata. Di era digital, kejahatan seksual seperti grooming tidak hanya potensil terjadi tapi sudah terjadi. Di Indonesia, hampir setiap anak memiliki ponsel, sementara media sosial dan internet bukan sesuatu yang asing. Oleh karenanya, melalui komunikasi digital mereka lebih mudah “dipersiapkan” karena privasinya lebih terjaga atau paling tidak, apa yang dilakukan oleh groomer “tidak terlihat”. Ini karena dalam proses “dipersiapakan”, anak/remaja sudah mulai ditanamkan untuk merahasiakan hubungan yang telah terjalin di antara mereka berdua dan ini biasanya sudah disertai dengan ancaman. Ini biasanya terjadi jika anak/remaja sudah pernah dimintai untuk menunjukkan genital, ketelanjangan, atau permintaan-permintaan lain yang sejenis, sehingga foto/video terkait menjadi bahan ancaman untuk disebarkan. Artinya, kontrol groomer terhadap sang anak/remaja semakin kuat, sebagai tahapan lanjutan dari proses “dipersiapkan”, sebelum akhirnya groomer meminta anak/remaja untuk melakukan “kopi darat”. Tidak mengherankan jika proses grooming berlangsung lama, bisa berbulan-bulan sebelum akhirnya pelaku mengatur pertemuan secara fisik.
Proses yang berlangsung lama ini seyogianya dapat menjadi perhatian orang tua karena biasanya jika sudah terjalin hubungan di antara keduanya, seorang anak/remaja mulai menarik diri dari circle pertemanannya dan berbicara tentang “teman barunya”, terjadi perubahan dalam bersikap karena suasana hatinya tidak tentram, suka menghilang, tidak jujur, dll. Meski hal ini tidak selalu berarti bahwa anak mengalami grooming, tapi bisa jadi pertanda bagi orang tua untuk mewaspadai kemungkinan anak/remaja mengalami grooming. Let’s keep our eyes open!