FAJAR, MAKASSAR-Pengetahuan lokal merupakan salah satu aset budaya terbesar masyarakat Sulawesi Selatan. Pengetahuan lokal tidak hanya berisi tentang catatan peristiwa-peristiwa penting sebuah kerajaan.
Contohnya Lontara’ Bilang Gowa-Tallo, naskah lontara’ tersebut berisi tentang kejadian-kejadian penting yang terjadi di Kerajaan Gowa-Tallo dalam periode tertentu. Manuskrip tersebut telah diolah dan dipublikasikan oleh akademisi sebagai warisan budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Lantas bagaimana dengan manuskrip lain yang banyak tersebar luas di wilayah Sulawesi Selatan.
Makassar Heritage Society (MAHESTY) memandang bahwa manuskrip yang tersebar luas di Sulawesi Selatan penting untuk dilestarikan. Pandangan tersebut lahir dari keresahan budayawan mengenai kepunahan manuskrip yang akan termakan usia. Umunya, masyarakat sebagai pemilik manuskrip belum semua memahami cara-cara untuk melindungi manuskrip dari kepunahan.
Oleh karenanya dibutuhkan usaha pelestarian manuskrip dengan melakukan perlindungan atas manuskrip tersebut. Manuskrip di Sulawesi Selatan umumnya belum dikonservasi secara menyeluruh. Terlebih lagi apabila manuskrip tersebut belum “dibuka” oleh pemilik.
“Kami tidak menafikan kesakralan dari manuskrip (lontara’) yang dimiliki oleh masyarakat. Akan tetapi dibutuhkan perlakuan atas manuskrip tersebut agar tidak mengalami kerusakan. Misalnya rapuh, sobek, dimakan rayap dan hancur karena usia manuskrip yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun,” ungkap Ketua lembaga MAHESTY, Husnul Fahimah Ilyas.