FAJAR, MAMUJU – Pernikahan anak dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan dan mental. Kerentanan itu juga dapat berdampak pada keturunannya kelak.
Meski pemerintah telah merevisi batas usia minimal pernikahan menjadi 19 tahun. Namun, masih saja terus terjadi. Seperti yang belum lama ini di Desa Taan, Kecamatan Tapalang, Mamuju, Selasa, 24 Mei, lalu. Sepasang remaja menikah di usia 15 tahun.
Merespons hal tersebut, Kepala BKKBN Sulbar, Nuryamin mengatakan, pernikahan dini itu tidak dibenarkan dalam hukum. Artinya ada pelanggaran hukum terkait eksploitasi anak dan etika sosial.
Menurutnya, kasus ini perlu menjadi perhatian bersama. Meski sudah ada peraturan daerah (Perda) yang mengatur tetapi mesti ditindaklanjuti berupa sanksi sampai ke tingkat desa.
“Kalau ada desa melakukan pelanggaran itu, apa boleh buat kita harus memberikan sanksi kepada desa sebagai bentuk hukuman. Satu berbuat, satu desa yang harus bertanggung jawab. Kalau itu diterapkan tentu tidak akan terjadi lagi di desa lain,” kata Nuryamin, Kamis 25 Mei.
Untuk itu, kata dia, desa mestinya menerbitkan peraturan desa sebagai tindak lanjut dari aturan yang sudah ada. Baik Perda maupun Undang-Undang (UU) yang mengatur batas usia pernikahan.
“KUA memang tidak akan menikahkan anak di bawah 19 tahun. Tapi ketika ada putusan pengadilan agama tentu itu bisa. Nah, ini lagi yang biasa merestui. Kalau ada rekomendasi dari pengadilan agama tentu KUA tidak bisa menolak,” ujarnya.
Ketua Yayasan Karampuang, Ija Syahruni ikut menyesalkan kejadian di Tapalang tersebut. Menurut dia, kejadian itu sangat miris, karena Sulbar sudah terkenal dengan angka perkawinan anak di bawah umur dan stunting yang tinggi. “Ingat loh yah, Sulbar itu masuk peringkat 5 tertinggi. Itu miris sekali, parah,” ujarnya.