FAJAR, MAKASSAR— Tak dimungkiri, banyak anak kecanduan gawai. Situasi berbahaya untuk masa depan.
Anak-anak masa kini banyak yang menghabiskan waktu dengan bermain gawai. Menjadi kebiasaan, bahkan ada yang kecanduan. Saat bermain gawai, anak menjadi terpaku pada layar.
Perhatian mereka sulit teralihkan. Kondisi ini diperparah dengan sikap orang tua yang sering kali terlalu lama memberikan waktu bagi anak bermain gawai alias ponsel cerdas.
Dokter Spesialis Anak Siloam Hospitals Makassar, Dr dr Bob Wahyudin SpA(K) CIMI mengatakan kecanduan bermain gawai bisa mengganggu tumbuh kembang anak.
“Bermain gadget (gawai) itu membuat anak duduk terus atau baring dengan satu pandangan sehingga input kurang, secara otot dan tulang juga kurang banyak terstimulasi,” ujar dilansir koran FAJAR, Sabtu, 14 Mei 2022.
Sehingga jika anak sudah sangat terbiasa dengan gawai, maka yang bisa dilakukan orang tua adalah memberikan masa transisi. Suatu upaya membatasi waktu penggunaan gawai kepada anak.
“Memberikan jam tertentu hanya bisa menggunakan gawai,” sambungnya.
Dokter Bob menyampaikan jika kebiasaan bermain gawai tiba-tiba diberhentikan secara total, maka anak akan merasa kebingungan. Hal ini juga kurang baik pada anak.
Mengurangi kebiasaan terhadap gawai akan lebih baik jika dilakukan dengan menyediakan ruangan yang khusus untuk anak bermain gawai di sana. Penggunaannya juga dibatasi, misalnya menentukan durasi. Lewat dari waktu yang ditentukan, berhenti.
Terpisah, ahli psikologi perkembangan anak Eva Maizara Puspita Dewi SPsi MPsi mengutarakan membangun perilaku anak harus dipahami bahwa si kecil itu sangat bergantung pada lingkungan.
“Perilaku mencontoh merupakan bagian dari pembentukan jiwanya,” jelasnya.
Jika apa yang menjadi kebiasaannya langsung dihilangkan, maka timbullah kecemasan yang terjadi dalam dirinya. Inti dari pengajaran yang baik adalah tidak mengajari anak untuk memaksakan di luar kemampuan mereka.
Seleksi Aplikasi
Kebebasan anak menggunakan gawai atau ponsel cerdas (smartphone) bagi anak dinilai membahayakan. Olehnya, aplikasi yang ada di dalam gawai perlu diseleksi. Apalagi jika peruntukannya hingga dibawa sampai ke sekolah.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) Sulsel Rosmiati Sain mengatakan membawa ponsel ke sekolah dengan tujuan belajar itu tidak masalah.
Akan tetapi, kalau tidak ada kaitannya dengan belajar, jangan dilakukan. “Jika difasilitasi HP, ada baiknya yang tidak ada aplikasinya. Karena fungsinya mengontrol anak di mana berada,” sarannya.
Peran orang tua juga harus maksimal. Terutama dalam menggunakan gawai atau media sosial. Pasalnya, sudah banyak sekali tontonan yang tidak cocok ditonton oleh anak di bawah umur.
“Sehingga peran orang tua penting sekali. Mengawasi anaknya,” tekannya lagi.
Termasuk hal yang keliru ketika memberikan atau membelikan gawai bagi anak ketika meminta atau mengganggu orang tuanya. “Itu harus diwaspadai, itu keliru. Harusnya ada fungsi kontrolnya bukan bertindak mengikut mau anak,” paparnya.
Kebijakan Sekolah
Kepala Dinas Pendidikan Makassar Muhyiddin mengatakan alat elektronik seperti ponsel biasa dibawa oleh siswa, apalagi sebelumnya ada proses pembelajaran daring.
Sejauh ini pihaknya tidak melarang, tetapi diawasi dengan membentuk kebiasaan positif anak. Justru konten-konten video pula, ujar dia, bisa dijadikan pembelajaran bukan sebaliknya.
Ia menekankan peran guru dan orang tua dalam pengawasan. Pun dengan adanya pembelajaran tatap muka, ia menuturkan hal itu justru meminimalisasi konten yang dilarang karena siswa fokus belajar.
“Interaksi dengan guru dengan tatap muka itu berbeda,” ucapnya. (sal-bus/zuk)
Pembahasan mendalam mengenai gawai dan tontonan anak, baca laporan khusus di hal 9, 10, dan 15 koran FAJAR edisi Sabtu, 14 Mei 2022