English English Indonesian Indonesian
oleh

Di Daerah Ini, Mudik Menjadi Moment Perjodohan Keluarga! Simak Ulasannya

FAJAR, MAKASSAR — Umat Islam Indonesia memang selalu identik dengan mudik. Sebuah tradisi turun temurun.

DILAKUKAN menjelang Lebaran. Baik Idulfitri, maupun Iduladha. Namun, gelombang besarnya pada Idulfitri. Kebahagiaan memancar pada hari-hari terakhir Ramadan.

Sangat wajar musim mudik kali ini disambut antusias nan gegap gempita. Dua tahun muslim Indonesia terbelenggu oleh pandemi. Pergerakan dibatasi, bahkan tak bisa mudik.

Kurun Lebaran 2020 dan 2022, kebahagiaan umat Islam Indonesia menjadi serpihan yang berserakan. Tak bisa lagi berkumpul bersama keluarga besar lantaran pembatasan di semua wilayah.

Tahun ini, itu tak terjadi lagi. Sebuah kebahagiaan yang akan kembali menampakkan realitasnya. Mengayomi umat yang telah dahaga sua selama dua tahun.

Momentum Perantau

Pipit Puspitasari merupakan warga Makassar yang kini menetap di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia ikut suami. Sejak tiga tahun lalu juga menjadi dosen di salah satu kampus di Sumbawa.

Tahun ini dia sempat mudik ke Makassar. Memanfaatkan cuti dan sekalian lahiran anak keempatnya di kota kelahirannya. Nikmat luar biasa ia rasakan, sebab sejak 2019, baru 2022 inilah dia bisa kembali menjejakkan kaki di Kota Angingmammiri. Pandemi Covid-19 mengungkung langkahnya nyaris tiga tahun.

“Seandainya saya bawa semua anakku, saya menetap lama di Makassar. Tapi ternyata anak yang bikin rindu, jd saya balik,” urai Pipit dilansir koran FAJAR edisi Jumat, 6 Mei 2022.

Pipit memang tak mengikutkan dua anaknya saat mudik. Alasannya, mereka sekolah. Sudah aktif kembali belajar via tatap muka. Akhirnya, Pipit balik ke Sumbawa bersama suami. Meski tak lama di Makassar, dia bahagia bisa berkumpul keluarga besarnya dari pihak ibu.

Sebagai perantau, kini dia mulai beradaptasi dengan Sumbawa. Harus bisa mengelola rindu, karena kadang bertahun-tahun baru bisa mudik ke Makassar.

“Jadi akhirnya, saya sekarang menganggap Sumbawa seperti kampungku,” urai alumni Program Pascasarjana (PPs) UNM ini.

Jadi Kebutuhan

Momentum Lebaran kerap kali dijadikan kesempatan bagi para perantau untuk kembali ke kampung halaman (mudik). Entah sendiri, maupun bersama keluarga.

Bahkan tradisi ini perlahan menjadi kebutuhan yang harus dilakukan setiap kali menjelang Lebaran. Begitupun dengan salah satu perantau Sulsel di Kota Surabaya, Alifiah Ainul.

Kepada FAJAR, ia berbagi kisah. Alifiah memilih pulang dari perantauan untuk bergabung bersama keluarga besarnya di Soppeng, Sulsel, pada Lebaran nanti.

Perempuan yang juga bertempat tinggal di Kecamatan Manggala itu dua tahun menetap di Surabaya. Pada Lebaran kali ini, ia akan menghabiskan libur hari raya miliknya bersama keluarga, sehingga ia memutuskan untuk mudik.

“Tinggal dulu beberapa hari di sini (Makassar) nanti kalau sudah mendekati akhir Ramadan baru turun (Ke Soppeng),” terang Nunung, sapaannya, kemarin.

Nunung juga menyebut kepulangannya kali ini berbeda. Ia mudik bersama sang suami. Menurutnya, itu makin memberi nilai kekeluargaan yang tinggi.

“Ke Surabaya karena ikut suami, baru kali ini pulang mudik sama suami. Soalnya, tahun lalu belum diberikan kesempatan Lebaran sama keluarga di kampung,” tuturnya.

Manusiawi

Sosiolog Universitas Negeri Makassar (UNM) Idham Irwansyah Idrus menilai keinginan mudik merupakan salah satu upaya untuk memenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan tersebut terbagi menjadi kebutuhan rohani dan kebutuhan sosial.

“Kebutuhan rohani karena memenuhi ajaran agama saling bermaafan secara langsung. Kebutuhan sosial karena bersilaturahmi dan membangun kebersamaan,” terangnya.

Idham juga menjabarkan tidak menutup kemungkinan mudik dapat menjadi simbol status sosial seseorang dalam mengharapkan adanya pengakuan dan menunjukkan kemapanan saat tiba di kampung halaman.

“Bisa menjadi simbol status sosial. Mereka tentu ingin mendapat pengakuan sebagai orang yang sukses dirantau dengan menunjukkan simbol-simbol kemapanan, menggunakan pakaian dan aksesoris bermerek, kendaraan baru, dan sebagainya, sehingga cenderung konsumtif,” tandasnya.

Jangan Euforia

Senada dengan itu, psikolog UNM Novita Maulidya Jalal menegaskan bahwa keinginan mudik akan menjadi negatif jika terjadi euforia yang berlebih.

“Mudik tentunya mengarah kepada yang positif, tetapi akan menjadi negatif jika dilakukan dengan persiapan yang berlebihan di luar dari pemenuhan kebutuhan,” urai Novita.

Memenuhi aksesoris kebahagiaan permukaan yang terlalu berlebihan justru akan berdampak terhadap sulitnya mengontrol diri sendiri.

Perempuan yang juga merupakan dosen di Fakultas Psikologi UNM ini juga mengiyakan mudik merupakan sebuah fenomena sosial masyarakat yang sudah berubah menjadi kebiasaan. Selain itu, hal ini dipengaruhi juga oleh adanya keinginan kaum muslim untuk merayakan kebahagiaan bersama keluarga.

“Ini bisa jadi bentuk syukur karena sudah puasa, dan dirayakan bersama keluarga. Juga ada nilai pemaafan sebagai bentuk penyempurnaan. Terakhir, sebagai bentuk bersilaturahmi dengan jangka waktu yang lama dan berkualitas,” tutupnya.


Ajang Perjodohan

Mudik di Indonesia sudah membudaya. kebiasaan ini kerap dilakukan jelang akhir Ramadan.

Budayawan Sulsel, Abdi Mahesa, mengatakan mudik oleh sebagian masyarakat bisa dimaknai sebagai ajang dalam membuktikan kesuksesan kepada kerabat dan sanak keluarga.

Sedari dulu, terjadi urbanisasi masyarakat desa ke kota. Ada prinsip oleh laki-laki yang merantau itu untuk pantang pulang sebelum sukses. Kondisi ini yang kemudian membentuk kebiasaan mudik tiap tahunnya.

“Ada unsur gengsi, kebiasaan orang-orang dulu itu sebenarnya mereka baru pulang ketika sudah sukses,” katanya.

Sehingga orang-orang mudik hampir bisa dimaknai sebagai orang perantau yang sukses dan kembali ke rumah.

Dewasa ini, budaya itu bergeser dan bertransformasi dengan kebiasaan orang-orang untuk pulang ke rumah. Sebab, Lebaran juga dimaknai sebagai ajang berkumpul bersama keluarga.

Mudik juga membawa manfaat secara luas terhadap masyarakat daerah. Ada dampak ekologis yang terjadi. Orang-orang yang berkumpul biasanya menjadi ajang perjodohan antara keluarga dan kerabat.

Selain itu orang-orang yang sukses ini kemudian membawa dampak ekonomi ke pelosok, sehingga perputaran ekonomi merata di semua sisi.

“Ada perputaran ekonomi ada THR, kegiatan ini berpotensi menambah ekonomi ke daerah tujuan,” jelasnya. (fni-an/zuk)

LIPUTAN KHUSUS BUDAYA MUDIK DAPAT DIBACA DI KORAN FAJAR EDISI JUMAT, 6 MEI 2022