English English Indonesian Indonesian
oleh

Bissu Bone: Kekerasan Kultural dalam Ritual Budaya

oleh: Jessy Ismoyo

PhD Student in Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada (UGM)

Pada 28 Maret 2022, Kabupaten Bone merayakan Hari Jadi Bone (HJB) yang ke-692. Ironisnya, perayaan ini menghilangkan peran bissu dalam prosesi ritual. Mattompang Arajang merupakan pesta adat yang dilaksanakan tahunan oleh pemerintah Kabupaten Bone untuk membersihkan benda-benda pusaka warisan Kerajaan Bone.

Absennya bissu yang memegang peranan penting dalam ritual Mattompang Arajang menimbulkan konflik antara masyarakat budaya, komunitas bissu, dan pemerintah daerah. Dalam masyarakat multikultural, konflik adalah hal yang wajar, namun hal itu menjadi tidak wajar apabila kekerasan terjadi. Lalu pertanyaannya, apakah ada indikasi kekerasan dalam konflik peminggiran bissu akan perannya dalam ritual adat?

Pasang surut Bissu dalam segitiga kekerasan

Momentum hilangnya peran bissu dalam ritual Mattompang Arajang menegaskan posisi bissu yang masih terjebak dalam segitiga kekerasan. Peminggiran peran dalam ritual menangguhkan rentannya posisi bissu dalam masyarakat bugis. Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia, kekerasan memiliki tiga dimensi yakni: kekerasan langsung, kekerasan struktural, dan kekerasan kultural. Ketiga dimensi ini dapat dikonsepkan seperti sebuah segitiga. Pada ujung atas segitiga terdapat kekerasan langsung, yang sebenarnya hanyalah bagian kecil dari segitiga kekerasan Galtung. Kekerasan langsung adalah hal yang visible – dapat kita lihat dan alami nyata adanya seperti pada kekerasan fisik, penyerangan hingga pembunuhan.

News Feed