Hati yang terdidik dengan spritualisme puasa telah melenyapkan berbagai ambisi duniawi dan terlatih untuk berpikir matang.
Dengan demikian, output puasa tergantung nilai substansi dari proses puasa yang dilaksanakan. Maka Islam mengajarkan agar selalu menjaga lisan dan perbuatannya dari prilaku yang tercela agar amalan puasa dapat diterima disisi Allah SWT.
Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi Saw كم من صاءىم ليس له من صيامه الا الجوع والعطش
(Berapa banyak orang yang berpuasa tidak ada pahala yang didapat dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga). Hadis ini mengisyaratkan perlunya fungsi kontrol pada diri manusia selama melaksanakan puasa agar pahala tetap diperoleh bagi orang yang berpuasa.
Puasa Ramadan yang dilakukan bukan sekadar membentuk kepribadian yang lebih baik. Akan tetapi, lebih dari itu akan menemukan berbagai kemuliaan yang dikandung. Dalam salah satu hadis qudsi diterangkan bahwa setiap amal kebaikan manusia akan dilipatgandakan dengan 10 kebaikan yang semisal hingga 700 kali lipat, kecuali amal puasa.
Allah SWT berfirman: puasa tersebut untukku dan aku sendiri yang akan membalasnya karena ia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi aku. (HR. Muslim).
Tujuan akhir dari puasa agar terwujud manusia Muttaqin. Seseorang dapat dikatakan Muttaqin apabila sadar betul bahwa dirinya tidak akan bisa beribadah dengan baik apabila ekosistem terganggu, alam dirusak, maka dari itu selalu ada upaya untuk menjaga lingkungannya sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai khalifatullah di al-ardhi. Maka puasa mengajarkan supaya tidak tamak. Ekploitasi alam wujud dari keserakahan.