Ketiadaan status dan ketidakjelasan posisi dan peran Bissu dalam ruang dan ritual kebudayaan dalam masyarakat Sulawesi Selatan, (dapat) mengantarkan mereka ke dalam kondisi “bare life” (kehidupan yang “kosong/polos”) (Agamben, 1999). Dalam pandangan nekropolitik, ketika seseorang atau suatu kelompok “distatuskan” menjadi homo sacer atau (katakanlah) sebagai “manusia tanpa identitas”, maka ia tak lagi memiliki status (identitas)- sosial/kultural/politik-nya (bare life) sehingga menjadi rentan untuk “dikorbankan”, bahkan menjadi “sah” untuk disingkirkan. Homo sacer adalah gambaran bagi mereka yang tak terjangkau atau tak terlindungi oleh hukum, hak asasi, atau semacamnya.
Politik kematian dan kematian politik
Praktik-praktik “mematikan” (baca: menyingkirkan) suatu “kehidupan” dalam berbagai tatanan praktik sosio-kultural masyarakat dewasa ini, baik atas nama kedaulatan politik, hukum, atau pun kedaulatan-kedaulatan yang lain, sesungguhnya bertentangan dengan “roh” hak asasi manusia, yang mengandaikan adanya kesempatan hak hidup bagi semua manusia, termasuk hak-hak ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politik bagi setiap warganegara.
Raib dan tersingkirnya peran-peran kultural manusia Bissu dalam ritual kebudayaan memberi indikasi bagaimana kuasa nekropolitik bekerja dalam “mematikan” suatu wacana (kehidupan) pada satu sisi, dan pada sisi yang lain “menghidupkan” wacana yang lain untuk hidup dan berkembang (making live and letting die). Hal ini telah memberikan gambaran bagaimana praktik politik demokrasi modern dijalankan, yang alih-alih mewujudkan “kebahagian bersama” (eudaimonia) sebagaimana gambaran etis-filosofis politik Aristotelian, justeru (malah) mematikan “politik” itu sendiri, sebagai sinyalemen kematian politik di era politik (kematian) kontemporer dewasa ini.