Webinar dan beragam pendapat mulai mulai bermunculan di ranah publik, memprotes dan mempertanyakan “ketidakhadiran dan penolakan” para Bissu di hajatan tersebut, termasuk keprihatinan dan pandangan salah seorang Guru Besar Ilmu Budaya Unhas, Prof. Nurhayati Rahman tentang posisi sentral Bissu dalam kebudayaan Bugis-Makassar (https://harian.fajar.co.id/2022/03/29/bissu-tak-tampil-di-acara-sakral-agama-campuri-kebudayaan/)
Bissu dan politik kematian
Dalam tatakelola masyarakat modern (govermentality), isu-isu kehidupan- termasuk hak keberlansungan hidup dan mati seorang/kelompok- kini telah memasuki ranah dan kajian politik, yang oleh Michel Foucault (2008) disebut sebagai biopolitik, yakni wacana politik (tentang) kehidupan, termasuk pula wacana politik kematian di dalamnya.
Dalam kajian wacana politik kontemporer, ketidakhadiran atau tidak dilibatkannya Bissu dalam HJB yang ke- 692 boleh jadi dapat dibaca sebagai wujud praktik politik kematian (nekropolitik) dalam tatanan demokrasi modern. Achille Mbembe dalam Necropolitics (2003) menjelaskan bahwa nekropolitik adalah penggunaan kuasa sosial maupun politik untuk mendikte siapa saja yang dapat “dimatikan” (baca: disingkirkan) dan siapa saja yang dapat diberi ruang hidup. Nalar nekropolitik merupakan penaklukkan kehidupan melalui kuasa kematian, yang membuat pelakunya (korbannya)- baik secara fisik dan maupun mental- “tetap” berada dalam kondisi antara hidup dan mati (baca: sekarat). Nekropolitik adalah politik zombie, menjadikan korbannya sebagai “mayat hidup” (living dead).