OLEH: A. Faisal, Pengamat Kebudayaan
Keberadaan Bissu dalam masyarakat Bugis-Makassar memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Pada masanya, mereka dipercaya oleh raja-raja sebagai penasehat, mengabdi dan menjaga arajang yang merupakan benda pusaka kerajaan. B.F. Matthes menggambarkan para Bissu sebagai pendeta yang dapat menghubungkan antara dunia langit (Sang Pencipta) dengan dunia manusia, melalui ritual-ritual tertentu (Graham, 2002). Bagaimana peran dan posisi penting Bissu dalam ritual-ritual kebudayaan di Sulawesi Selatan- atau setidak-tidaknya di masyarakat Bugis-Makassar- telah banyak dijelaskan dalam banyak referensi dan hasil-hasil penelitian (Nurhayati Rahman dkk (eds), 2003).
Posisi dan peran mereka dalam perjalanan sejarah mengalami pasang surut, kadang ditolak dan kadang dirindukan. Seringkali dalam beberapa program kebudayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga, kehadiran mereka menjadi “magnet” untuk menarik kunjungan wisata, dan tak jarang pula keberadaan mereka sebagai pendulang suara dan simpati dalam beragam peristiwa politik.
Baru-baru ini, dalam suatu hajatan besar yakni Hari Jadi kabupaten Bone (HJB) yang ke-692, eksistensi mereka tak tampak lagi dalam hajatan penting tersebut. Publik luas pun bertanya ada apa dengan Bissu dengan pemerintah?. Para Bissu mempertanyakan alasan “penolakan” dan tidak dilibatkannya mereka dalam acara maha penting tersebut.
Bagi para Bissu, untuk pertama kalinya dalam sejarah HJB, mereka tidak diberi ruang dan tidak dilibatkan langsung dalam acara tersebut, padahal proses mattompang arajang merupakan proses yang sejak awal hadirnya ritus telah dilakukan “hanya” oleh para Bissu.