Pemecatan Terawan Agus Putranto (TAP) dalam Muktamar IDI XXXI di Banda Banda Aceh, 25 Maret 2022, kontan memantik perdebatan sengit di Tanah Air. Alhasil, publik terbelah dua antara idealisme pada mereka yang pro keputusan IDI versus pragmatisme pada mereka yang Pro TAP.
Kaum idealis meyakini bahwa keputusan IDI tersebut sangat tepat karena: Pertama, TAP tidak mematuhi sanksi IDI dalam SK MKEK No. 009320/PB/MKEK-Keputusan/02/2018 tertanggal 12 Februari 2018. Padahal sebagai anggota, TAP wajib patuh dan tunduk pada IDI seperti organisasi lainnya.
Kedua, TAP mempromosi hasil temuannya mengenai DSA dan Vaksin Nusantara, padahal hasil temuan tersebut belum melalui proses uji klinis. Hal ini melanggar Kode Etik IDI, khususnya Pasal 4 KODEKI dan Pasal 6 KODEKI.
Ketiga, TAP mengenakan tarif sangat mahal kepada pasien dalam terapi cuci otak melalui Digital Substraction Angiography ala TAP. Hal ini melanggar Pasal 14 KODEKI.
Keempat, TAP menduduki jabatan sebagai Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan Tatalaksana dan Organisasi (ORTALA) IDI dan proses pengesahan di Muktamar IDI.
Kelima, TAP menerbitkan Surat Edaran (SE) nomor 163/AU/Sekr PDSKRI/XII/2021 tanggal 11 Desember 2021, yang memprovokasi seluruh ketua cabang dan anggota PDSKRI agar tidak merespons ataupun menghadiri acara PB IDI. Hal ini sungguh merupakan tindakan insubordinatif terhadap atasan dalam organisasi.
Keenam, TAP tak pernah memenuhi undangan IDI untuk konfirmasi dan klarifikasi semua dugaan pelanggaraan etik IDI oleh TAP. Hal ini melanggar Pasal 18 KODEKI.