Kaum pragmatis menyerang keputusan IDI tersebut dengan membela TAP karena terapi DSA merupakan prestasi akademik di bidang medis yang seharusnya diapresiasi. Mereka merujuk pada testimoni empirikal dari pasien yang merasakan benefiditas kekhasiatan terapi DSA dari TAP. Apakah seorang inventor dewasa ini boleh melakukan klaim sepihak mengenai kehandalan novelty tanpa melalui pengujian berdasarkan standar prosedural ilmiah? Apakah dengan testimoni pasien cukup untuk menghilangkan prosedur uji klinis sebagai prosedur baku dalam dunia medical invansion? Apakah otoritas IDI harus dikalahkan validitas kebenaran prosedur etiknya demi membenarkan semua pelanggaran TAP? Apakah latar belakang TAP sebagai mantan Menkes dan Pati Bintang Tiga begitu berpengaruh untuk menghipnotis kebanyakan orang untuk membenarkan semua tindakannya? Apakah pelanggaran anggota IDI lainnya dapat memperoleh perhatian dan dukungan yang sama dengan TAP meski ia tidak memiliki kapasitas dan latar belakang seperti TAP?
Meski demikian, idealisme IDI dalam menegakkan tata tertib dan kode etik profesi, patut dikritisi karena terkesan diskriminatif dan tebang pilih. Bukankah begitu banyak oknum dokter yang kerap melanggar kode etik IDI, namun jarang dilakukan penindakan seperti yang dialami TAP, bahkan malah cenderung dibela dengan beragam skenario dan sandiwara kolegial sehingga tak ada dokter yang bersedia menjadi pembanding memberikan second opinion.
IDI memang tak boleh membinasakan anggotanya, tetapi bukan berarti IDI hanya mampu menyanyikan lagu korsa dengan mengabaikan semua komplain pasien sebagai wujud dharma bakti IDI kepada profesi. Bagaimanapun IDI sebagai organisasi profesi harus kembali ke tujuan awal pendirian IDI untuk mengawal perwujudan visi misi profesi dokter Indonesia dalam memberikan pelayanan bagi terwujudnya derajat Kesehatan setinggi-tingginya pada masyarakat. (*)