Makanya, hanya gorengan yang menjadi penyambung hidupnya. Namun sejak sebulan, ia berhenti jualan. Tak mampu beli minyak goreng. Harganya selangit, modalnya besar, sementara pelanggannya hanya beberapa orang.
Gorengannya itupun dijual di kolong rumah. Jadi bagi pembeli yang hendak membeli biasa datang ke sana. “Biasa temannya Ayu juga beli. Tapi sejak minyak goreng naik dan langka saya berhenti jualan,” akunya.
Agar asap dapurnya tetap mengepul, warga Lingkungan Bonto Rea, Kelurahan Maccini Baji, Kecamatan Lau itu hanya mengharapkan bantuan tetangga dan keluarga. Juga ada bantuan dari teman-teman dan guru Ayu di sekolah.
“Teman-temannya biasa kumpul-kumpul (patungan) kasi Ayu. Beras dan lauk juga biasa saya dikasi sama Daeng Bollo (pemilik rumah yang ditumpangi Ayu bersama ibunya.
Sumiati selama ini tinggal di kolong rumah Daeng Bollo. Masih ada hubungan keluarga dengan Sumiati. Bahkan tetangga juga kerap memberinya beras jika sudah panen. Hanya saja kadang kesulitan membeli lauk. “Pernah juga Ayu pulang, laparmi, tidak ada apa-apa. Saya cuma menangis, saya bilang sabar nak,” ungkapnya sambil berurai air mata.
Tinggal di kolong tentu banyak risiko. Salah satunya sering kebanjiran. Namun Sumiati sangat bersyukur karena masih ada kerabatnya yang mau memberinya tempat. “Selalu dipanggil ke atas sama yang punya rumah (Daeng Bollo, red) tapi saya tidak bisa naik tangga karena kaki lutuh sakit,” akunya.
Sudah dua tahun Sumiati tinggal di kolong rumah yang berdinding seng. Lantainya masih tanah, tapi sudah dilapisi karpet plastik. Kini ia hanya berharap pada uluran tangan dari para dermawan dan pemerintah. Apalagi selama ini ia tak pernah terdata maupun tersentuh bantuan.