SEORANG Ibu tani berjalan penuh kehati-hatian. Namanya, Ramaliah. Ia meniti anak tangga demi anak tangga menuju puncak dengan langkah cermat. Amat pelan.
Napasnya sepotong-sepotong. Ia pun istirahat sejenak di pertengahan tangga “90 derajat” itu. Dari puncak atas tangga, terdengar napasnya yang ngos-ngosan.
Dengan sepenggal-sepenggal kata, wanita paruh baya itu berusaha tersenyum. “Bapaknya (suami, red) masih ada di bawah,” kata Ramaliah sambil memperbaiki posisi karung yang di junjungannya.
Kedua tangannya kembali berpegang di kedua tiang tangga. Tangan kanannya, bahkan memegang pula parang. Ia melangkah lagi…, tiga…dua…satu…, akhirnya tangga terakhir berhasil dilewati.
Dengan senyum di antara napas yang tersengal, ia mencari tempat istirahat di bawah pohon. Beban di junjungannya pun diturunkan sambil mengipas-ngipaskan telapak tangan, “Panas…, panas….”
“Setiap hari lewat tangga ini. Pagi saya lewat tangga ini ke kebun, sore saya kembali dengan menaiki tangga ini lagi,” ungkap Ramaliah.
Ramaliah menjelaskan, akses tangga kayu ini memperpendek jarak tempuh ke kebunnya. Jika ia memakai jalur jalan yang dibangun pemerintah, jarak tempuh butuh waktu hingga tiga jam.
“Kalau lewat tangga ini ya sekitar sejam saja dari kebun sampai-mi,” tutur Ramaliah.
Akses ekstrem itu tepat di Dusun Salu Baka, Desa Kaseralau, Kecamatan Batu Lappa, Pinrang. Ada tebing setinggi 150 meter dengan kemiringan hingga 90 derajat. Di tebing inilah dipasang tangga kayu. Ini akses alternatif yang digunakan warga.
Akses dimulai dengan mendaki kaki tebing dengan kecuraman 45 derajat dengan vegetasi hutan.
Setelah melewati kaki tebing, tahap pertama akan menemui dinding tebing kemiringan 75 derajat dengan tinggi 10 meter. Dinding tebing hanya dilengkapi tali dari plastik bekas pembungkus kabel yang diikat di pohon.