English English Indonesian Indonesian
oleh

Pilkada Takalar 2024: Antara Kotak Kosong dan Otak Kosong, Sebuah Otokritik

Oleh: Firmansyah Demma
Aktivis Unhas/Anak Muda Takalar

Setelah pelaksanaan Pemilu, kita sebagai masyarakat kembali akan diperhadapkan dengan kontestasi demokrasi. Yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak baik di level kabupaten, kota, maupun provinsi.

Tentu, dengan demikian, sebagai masyarakat politik (Human Politican) kita akan kembali bergerilya dengan memunculkan faksi dan dukungan masing-masing. Tensi politik yang kita harapkan dapat stabil pasca pemilu rasa-rasanya tak akan surut begitu saja. Apalagi Pilkada pada notabenenya adalah perhelatan politik lima tahun sekali yang juga melibatkan masyarakat sampai ke lapisan paling bawah.

Salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang akan menggulirkan kontestasi PIlkada ialah Kabupaten Takalar. Sebuah daerah yang oleh masyarakatnya menyebutnya sebagai ‘Tanah Harapanku’ yang dalam bahasa Makassar dikenal dengan istilah ‘Butta Panrannuangku’. Pesta demokrasi yang akan dihelat oleh masyarakat Takalar dalam rangka untuk menemukan satu sosok pemimpin yang akan menjadi orang nomor satu dalam pemerintahan Takalar, yaitu Bupati. Orang yang nantinya akan menikmati kursi empuk dan ruangan bersuhu dingin di Gedung Putih.

Pemilihan kepala daerah yang akan dilakukan secara serentak pada tanggal 27 November 2024 ini akan menjadi momen penting dan bersejarah dalam keberlangsungan hidup masyarakat. Sebab disinilah masyarakat bisa bebas merdeka untuk merancang masa depan hidup dan daerahnya. Ini merupakan titik awal untuk melangkah pada kepemimpinan berikutnya.

Tetapi untuk mewujudkan hal itu, dibutuhkan kesadaran filosofis dari masyarakat tentang pentingnya menghadirkan politik yang esensial, politik yang tidak sekadar menawarkan kata-kata mutiara yang kadangkala hanya berhenti di ujung lidah. Masyarakat sangat potensial untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas, sebab masyarakat seperti yang diungkap oleh Aristoteles adalah Human Politican (Makhluk Politik). Sebagai makhluk politik, masyarakat memiliki kemampuan untuk menginterupsi realitas politik.

Kotak Kosong dan Otak Kosong

Setelah peta politik pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan, kini giliran peta politik Pilkada Takalar yang diterpa isu hangat. Ya, apalagi kalau bukan ‘Kotak Kosong’. Per hari ini, isu Kotak Kosong benar-benar menjadi santapan yang maknyus.

Sebagai anak muda Takalar, penulis menganggap bahwa kotak kosong itu masih mending ketimbang ‘otak kosong’. Tapi tak berhenti disitu, penulis mencoba untuk menawarkan alternatif. Bahwa sebetulnya, kotak kosong lahir dari otak yang kosong. Itu poinnya.

Isu kotak kosong tidak muncul dari ruang hampa, tidak ujuk-ujuk langsung datang begitu saja seperti barang jatuh dari langit. Ini dimunculkan dari orang yang otaknya kosong.

Bagi penulis, perspektif otak kosong yang ingin dipakai bukan karena tidak punya pikiran sama sekali. Tapi karena saking menumpuknya pikirannya sehingga tidak mampu mengoperasikannya. Jadi, seolah ada yang tidak mau lagi berpikir panjang untuk berkontestasi.

Padahal, dalam sejarah, belum pernah terjadi atau bahkan muncul isu kotak kosong di Pilkada Takalar. Artinya, memang kemunculan isu ini adalah bagian dari perencanaan politik. Persoalan apakah itu efektif atau tidak, penulis tak ingin masuk di ranah itu. Yang jelas, disini kita sudah bisa mengukur bahwa ada otak yang mulai kewalahan memikirkan segala sesuatunya jika bukan kotak kosong.

Selain hal di atas, wacana kotak kosong menarik untuk kita gali menggunakan perspektif psikologi politik. Psikologi politik menjadi cara ilmiah untuk membaca fenomena politik melalui perilaku manusia. Ini sering digunakan dalam rangka membaca opini publik dan mengetahui karakter kepemimpinan tokoh.

Dalam perspektif psikologi politik, gerakan yang dimainkan oleh sejumlah tokoh adalah simbol karakternya. Konteks opini kotak kosong menjadi semacam sinyal bahwa ada hasrat berkuasa yang sangat besar dalam menyambut Pilkada Takalar mendatang.

Hasrat berkuasa memungkinkan seseorang atau sekelompok orang untuk menempuh segala cara demi mewujudkan keinginannya untuk menggenggam kekuasaan. Fenomena ini dikenal dengan istilah ‘authoritarian personality’ atau kepribadian yang otoriter. Penulis menilai, bahwa opini kotak kosong yang dianggap semakin menguat di Takalar adalah sikap otoriter untuk menguasai kekuasaan. Seolah ada tangan dewa dibalik ini semua yang ingin mencengkeram kekuasaan di Takalar.

Sekadar Eksistensi

Mengaktifkan ketajaman berpikir dalam memberikan dukungan adalah sesuatu yang penting di tengah kondisi politik hari ini. Maksudnya ialah, sebagai masyarakat, kita harus betul-betul memastikan bahwa figur yang akan kita coblos nantinya adalah orang yang benar-benar memiliki pemahaman yang tajam tentang apa dan bagaimana Takalar ke depan. Jika tidak demikian, maka kita kembali akan hanyut pada janji-janji para calon nantinya.

Semua calon, harus punya basis pengetahuan yang ilmiah. Sehingga masalah – masalah yang ada di Takalar ini juga dapat dipetakan secara ilmiah dan diselesaikan dengan solusi yang ilmiah pula serta konkrit. Tetapi, sejauh ini, diantara nama yang bergulir belum ada yang mampu memperlihatkan itu. Seperti argumentasi sebelumnya, semuanya hanya berjualan tagline.

Bagi penulis, jika hanya sekadar tagline, siswa SMP pun bisa. Kita muak dengan politik tagline. Kita menginginkan ada visi dan misi yang berbasis data, misalnya dari hasil penelitian dan riset.

Tetapi, adakah bakal calon Bupati Takalar yang telah menempuh jalur demikian? Sepertinya belum ada.

Kualitas calon harus diuji sejak dalam pikirannya. Itu untuk memastikan bahwa gagasan yang diberikan nantinya betul-betul gagasan yang lahir dari hasil pengamatan dan analisisnya secara objektif sebagai calon pemimpin nomor satu di Takalar. Jangan sampai, gagasan yang digaungkan hanyalah hasil bisik-bisik di atas karpet merah yang tidak bersesuaian dengan kondisi sosial masyarakat.

Kalau calonnya berkualitas secara intelektual; menguasai data dan memahami sebaran permasalahan dari berbagai sektor, maka kepemimpinan dan pemerintahan yang dijalankan nantinya akan bergulir untuk kemaslahatan. Pasti itu.

Per hari ini, belum tampak sosok yang mampu menguraikan permasalahan Takalar dari semua sektor. Baik dari sektor pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, maritim, dan sektor lainnya. Bahkan, anehnya lagi, para pendukung berat dari para bakal calon per hari ini hanya sibuk membicarakan hal-hal politis. Seperti rekomendasi dan koalisi.

Sederhana saja, jika bakal calonnya sibuk mencari koalisi dan berebut rekomendasi sementara para simpatisan dan tim juga sibuk membicarakan itu, lalu politik mencerdaskan seperti apa yang kita harapkan?

Tidak ada yang mencoba untuk mengajak masyarakat berdiskusi lebih dalam tentang masa depan Takalar dan warganya. Bayangkan saja, misalnya dari warkop ke warkop, wacana yang terbangun hanya soal koalisi. Tidak ada yang benar-benar serius berbicara tentang ide dan gagasan.

Ini menjadi satu kesimpulan sementara, bahwa praktik politik di Takalar per hari ini mengalami kemerosotan karena hanya sibuk bicara politis sementara hal-hal yang sifatnya ideologis terlupakan. (*)

News Feed