English English Indonesian Indonesian
oleh

Disrupsi Ruang Kebudayaan dalam Tradisi Suku Bugis, Makassar, dan Sa’dan Toraja

Oleh: Dian Cahyadi, M.Ds.
Dosen Desain Komunikasi Visual
Universitas Negeri Makassar

Wedding Organiser saat ini dipandang sebagai agen disrupsi kebudayaan asli pada suku Bugis, Makassar, Sa’dan Toraja. Di lain sisi, pergeseran ini juga tak terlepas dari daya kreasi Wedding Organizer dan keinginan mempelai untuk menghadirkan representasi ekspresi mereka untuk membuat tinggalan memori berkesan bagi mereka dengan berbagai inovasi orisinil yang merefleksikan eksistensi mereka sebagai bentuk warisan bersifat privat.

Bagaimana dengan warisan tradisi yang selama ini terwariskan sebagai identitas asli kebudayaan mereka? Seperti apa disrupsinya? Pergeseran budaya yang terjadi memang menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji. Di satu sisi, perubahan ini dapat dilihat sebagai bentuk disrupsi terhadap kebudayaan asli yang telah diwariskan secara turun-temurun. Namun di sisi lain, hal ini juga menunjukkan adanya dinamika budaya yang terus berkembang seiring dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat modern. Disrupsi kebudayaan pada dasarnya membahas tentang perubahan signifikan yang terjadi dalam suatu sistem budaya akibat pengaruh eksternal atau internal yang mengubah pola, nilai, dan praktik yang sudah mapan. Anthony Giddens dalam teorinya tentang “detraditionalization” atau penghapusan tradisi, berpendapat bahwa modernitas membawa perubahan yang cepat dan radikal dalam praktik sosial dan budaya, yang kadang-kadang mengakibatkan pemutusan dengan tradisi (Giddens, 1990). Tentunya hal inilah yang menjadi kekhawatiran dan saat ini mendapatkan porsi perhatian dalam ruang-ruang kajian.

Disrupsi ini dapat dilihat sebagai bagian dari proses evolusi budaya yang alami. Raymond Williams, dalam teorinya tentang “structure of feeling”, mengemukakan bahwa setiap generasi memiliki cara tersendiri dalam mengalami dan mengekspresikan realitas sosial dan budaya mereka (Williams, 1977).
Dalam hal ini, pergeseran praktik pernikahan dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi budaya terhadap kondisi dan kebutuhan kontemporer. Disrupsi yang terjadi dapat terlihat dari beberapa aspek. Pertama, dalam hal prosesi adat. Wedding Organizer seringkali menawarkan paket pernikahan yang lebih praktis dan efisien, yang mungkin mengesampingkan beberapa tahapan ritual adat yang dianggap rumit atau memakan waktu dan berimprovisasi pada bagian-bagian esensial sehingga bagian esensial dalam peristiwa serominal tersebut kemudian kehilangan makna. Hal ini dapat mengikis esensi dari makna spiritual dan filosofis yang terkandung dalam setiap tahapan upacara pernikahan tradisional.

Kedua, dari segi estetika dan dekorasi. Trend pernikahan modern yang dibawa oleh Wedding Organizer cenderung mengadopsi gaya internasional yang terkadang menempatkan unsur-unsur khas budaya lokal sebagai sematan dekorasi semata. Penggunaan ornamen, warna, dan simbol-simbol adat mungkin berkurang atau bahkan digantikan dengan elemen-elemen yang lebih kontemporer hingga pada penempatan elemen simbolis tersebut yang dinilai tidak pada peruntukannya. Ketiga, dalam hal pakaian pengantin. Kemudian semakin mereduksi kaidah penggunaan aksesoris simbolis atas nama estetika dan kecenderungan pada import-provisasi simbolik modernitas lainnya sehingga mulai menggantikan baju adat yang kaya akan makna dan filosofi. Keempat, dari segi musik dan hiburan. Lagu-lagu daerah dan pertunjukan seni tradisional mungkin mulai tergantikan dengan musik pop atau hiburan modern yang dianggap lebih menarik bagi generasi muda. Terkait hal ini mungkin masih banyak menerima dan memberikan ruang improvisasi asimilasi kultural. Namun pada banyak peristiwa saat ini mulai menghadirkan atraksi-atraksi tradisi yang dicomot dan dimasukan pada peristiwa seremoni perkawinan. Semisal yang menjadi perdebatan saat ini soal ‘Angngaru’ yang dinilai keliru dalam menempatkan bagian itu.

Perlu diingat dan disadari bahwa perubahan ini juga tentunya membawa sisi positif namun dalam ruang privasi dan tentunya akan dinilai negatif ketika dalam ruang publik. Disrupsinya adalah saat ini kita berada pada ruang difusi peradaban kebudayaan yang memungkinkan kompromi pada banyak sekat ruang. Sehingga pada dimensi kekinian menuntut setiap individu yang bebas nilai kemudian mengambil sisi itu untuk melekatkan simbolisme diri pada ruang-ruang difusi tersebut dalam ruang kebudayaan.

Inovasi yang dilakukan oleh Wedding Organizer dan keinginan mempelai untuk mengekspresikan diri mereka dapat dilihat sebagai bentuk evolusi budaya. Mereka mencoba menciptakan warisan pribadi yang unik, yang mencerminkan identitas dan nilai-nilai mereka sebagai individu modern sekaligus bagian dari komunitas adat. Hal ini menunjukkan bahwa budaya bukanlah sesuatu yang statis, melainkan entitas yang hidup dan terus berkembang.

Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menyeimbangkan antara inovasi dan pelestarian tradisi. Wedding Organizer dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk menemukan cara kreatif dalam mengintegrasikan unsur-unsur tradisional ke dalam konsep pernikahan modern. Misalnya, dengan mengadaptasi ritual adat ke dalam bentuk yang lebih ringkas namun tetap bermakna, atau menggabungkan motif-motif tradisional ke dalam dekorasi modern. Membangun kesadaran bersama pada upaya mitigasi kebudayaan tentunya membutuhkan konvensi dan ruang persepakatan terkait. Upaya edukasi tentang nilai-nilai budaya penting dilakukan agar generasi muda tetap memahami dan menghargai warisan leluhur mereka sebagai upaya mitigasi identitas kebudayaan.

Untuk memitigasi dampak disrupsi terhadap tradisi pernikahan suku Bugis, Makassar, dan Sa’dan Toraja, beberapa strategi dapat diterapkan. Meliputi dokumentasi dan digitalisasi ritual adat, edukasi masyarakat tentang nilai-nilai budaya, kolaborasi dengan Wedding Organizer, regulasi pemerintah, inovasi dalam presentasi tradisi, pemberdayaan komunitas, penyelenggaraan festival budaya, penelitian akademis, sertifikasi budaya bagi penyelenggara acara, dan pemanfaatan media sosial. Tujuannya adalah melestarikan warisan budaya tak benda sambil beradaptasi dengan modernitas. Pendekatan ini diharapkan dapat menjaga relevansi dan makna tradisi pernikahan adat bagi generasi mendatang, menyeimbangkan antara pelestarian dan adaptasi di tengah arus globalisasi.

Pada akhirnya, pergeseran ini mungkin akan menghasilkan bentuk baru dari ekspresi budaya yang merupakan sintesis antara tradisi dan modernitas. Warisan budaya asli tidak harus hilang, melainkan dapat bertransformasi menjadi bentuk yang lebih relevan dengan konteks kekinian. Yang terpenting adalah menjaga esensi dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tradisi tersebut, sambil tetap membuka diri terhadap perkembangan zaman. Penting untuk diingat bahwa disrupsi budaya tidak selalu berarti penghapusan total tradisi. Seperti yang diungkapkan oleh Marshall Sahlins dalam teorinya tentang “indigenization of modernity”, masyarakat lokal seringkali mampu mengadaptasi dan mengintegrasikan elemen-elemen modern ke dalam kerangka budaya mereka sendiri, menciptakan sintesis baru antara tradisi dan modernitas (Sahlins, 1999). Sehingga pada akhirnya diharapkan bahwa identitas budaya Bugis, Makassar, dan Sa’dan
Toraja dapat tetap lestari dan bermakna bagi generasi mendatang, meskipun dalam bentuk yang mungkin berbeda dari yang dikenal oleh leluhur mereka sebagai konsekuensi yang mesti disadari sejak dini. Fenomena pergeseran budaya dalam praktik pernikahan adat ini dapat dilihat sebagai contoh nyata dari dinamika kompleks antara tradisi dan modernitas, di mana disrupsi dan adaptasi terjadi secara bersamaan, menciptakan bentuk-bentuk budaya baru yang mencerminkan realitas kontemporer sambil tetap mempertahankan elemen-elemen penting dari warisan budaya. (*)

News Feed